Sinkretisme Agama dan Bahayanya Terhadap Akidah

Sinkretisme Agama dan Bahayanya Terhadap Akidah

Apa itu sinkretisme agama? Dan apa bahayanya terhadap akidah? Ustadz Adib Fattah Suntoro, M.Ag. menguraikannya pada artikel dakwah.id berikut ini. Mari kita simak.

Wafatnya Gayatri Muthari, seorang aktivis feminis yang kontroversial, pada 10 Mei 2025 menarik perhatian banyak kalangan. Perbincangan tentang dirinya tidak hanya berkisar pada kematiannya akibat penyakit autoimun lupus, tetapi juga pada perubahan keyakinannya yang cukup drastis.

Sebelumnya, Gayatri dikenal sebagai seorang muslimah berhijab yang aktif dalam organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).[i] Namun pada 2009, ia bergabung dengan Tarekat Daudiyah yang didirikan oleh Thomas McElwain atau Syekh Ali Haidar. Saat itulah pergeseran pandangan keislamannya pun mulai terjadi.

Tarekat Daudiyah sendiri merupakan aliran spiritual bernuansa Islam (tasawuf), tetapi mengandung unsur-unsur sinkretisme, yaitu pencampuran antara ajaran Islam dan ajaran agama lain.[ii]

Dalam tarekat tersebut, Gayatri menempati posisi yang cukup tinggi bahkan diberi gelar spiritual “Syekhah Hefzibah Al-Daudiyah” dan dijuluki “Pengantin Elia”.[iii] Sejak saat itu, ia aktif dalam berbagai komunitas lintas iman dan kampanye keberagaman yang mengaburkan batas-batas teologis Islam (pluralisme agama).

Bahkan ia dikenal cukup vokal dalam mengkampanyekan feminisme dan penentangan syariat hijab, suatu syariat yang dahulu ia pegang teguh.

Perjalanan spiritual Gayatri yang kemudian bergabung dengan sebuah aliran berpaham sinkretis dapat menjadi bahan perenungan bersama. Ia yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis muslimah yang taat, aktif dalam organisasi keislaman, akhirnya menempuh jalan pemikiran yang berbeda 180 derajat dengan sebelumnya.

Perubahan ini mencerminkan salah satu gejala dari arus global yang kini semakin menguat, yaitu pluralisme agama.

Dalam kajian akademik, Anis Malik Thoha melalui bukunya Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis mengidentifikasi sinkretisme sebagai bentuk nyata dari pluralisme tersebut.[iv] Sinkretisme tidak hanya berupa penggabungan simbol-simbol dan praktik ritual dari berbagai agama, tetapi juga membawa implikasi serius terhadap kemurnian akidah umat.

Dalam konteks Islam, prinsip tauhid merupakan pilar utama yang tidak dapat dicampuradukkan dengan keyakinan lain. Ketika konsep tauhid dikaburkan melalui penyatuan ajaran dengan doktrin seperti Trinitas, reinkarnasi, atau bentuk lain dari paham ketuhanan non-islami, maka hal tersebut dapat merusak struktur keimanan yang telah baku.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memiliki kesadaran kritis terhadap fenomena sinkretisme agama, guna menjaga kemurnian akidah dan mempertahankan identitas keislaman dalam arus globalisasi yang semakin kompleks.

Pengertiannya

Sinkretisme agama digambarkan sebagai proses pencampuran, penggabungan, atau asimilasi unsur-unsur dari dua atau lebih tradisi keagamaan yang berbeda ke dalam satu sistem kepercayaan baru.[v]

Istilah ini berasal dari kata Yunani synkretismos, yang berarti “persatuan orang-orang Kreta,” dan dalam perkembangan akademik, digunakan untuk menggambarkan percampuran doktrin, ritus, simbol, atau praktik keagamaan.[vi]

Dalam Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion (vol. 15, hlm. 125), disebutkan bahwa sinkretisme terjadi karena interaksi budaya yang intens, terutama ketika dua tradisi religius saling bersentuhan dalam konteks kolonialisme, migrasi, atau pertukaran budaya.[vii]

Dengan demikian, sinkretisme agama artinya adalah suatu bentuk percampuran antara satu agama dangan agama lain sehingga berubah menjadi agama atau ajaran tersendiri yang terpisah.

Sinkretisme dapat dilihat dalam berbagai peradaban, baik dalam sejarah maupun dalam masyarakat kontemporer. Dalam konteks sejarah, salah satu contoh sinkretisme yang paling mencolok adalah perpaduan antara agama-agama lokal di Amerika Latin dengan Kekristenan Katolik yang dibawa oleh penjajah Spanyol.

Praktik keagamaan seperti kultus terhadap Bunda Maria di Meksiko, yang bercampur dengan pemujaan terhadap dewi-dewi lokal seperti Tonantzin, adalah contoh konkret bagaimana simbol-simbol dan ritus-ritus Katolik diserap ke dalam struktur religius pribumi.[viii]

Baca juga: Identitas Sebuah Agama dan Wacana Pluralisme dalam Toleransi

Di Asia, sinkretisme juga tampak dalam integrasi antara Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme di Tiongkok, yang kemudian dikenal dengan istilah San Jiao He Yi (tiga ajaran dalam satu kesatuan).[ix]

Sementara itu, sinkretisme agama yang berkaitan dengan Islam tampak dalam kemunculan berbagai kelompok yang memadukan ajaran Islam dengan unsur kepercayaan lain.

Misalnya, Druze menggabungkan ajaran Ismailiyah dengan filsafat Yunani dan kepercayaan reinkarnasi,[x] sementara Alevisme di Turki mencampurkan unsur Syiah, tasawuf, dan tradisi Kristen.[xi]

Tarekat Bektashi dan Daudiyah juga mencerminkan perpaduan antara Islam, mistisisme, dan budaya lokal.[xii]

Di luar konteks Islam langsung, Sikhisme lahir dari interaksi antara Islam dan Hindu di India,[xiii] dan Theosophical Society[xiv] di Barat menyerap elemen mistik dari berbagai agama termasuk tasawuf. Fenomena ini menunjukkan bahwa saat Islam berinteraksi dengan budaya lain, sinkretisme bisa muncul, yang seringkali menimbulkan tantangan terhadap kemurnian akidah.

Meskipun gerakan dan kelompok yang berhaluan sinkretistik tersebut memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing, namun secara umum mereka tidak lepas dari dua model ajaran dan pendekatan.

Pertama, sinkretisme agama tumbuh di atas asumsi bahwa kebenaran terbagi secara sama rata di antara agama-agama. Artinya, mereka meyakini bahwa semua agama saling berbagi (sharing) kebenaran antara satu sama lain.

Maka bagi mereka kebenaran mutlak bukan monopoli satu agama tertentu, melainkan setiap agama memiliki kebenaran nisbi dan parsial.

Berangkat dari pandangan ini maka muncullah langkah selanjutnya dalam sinkretisme agama, yaitu (kedua) keyakinan bahwa agama-agama saling melengkapi. Hal ini muncul sebagai dampak dari konsep relativisme kebenaran yang telah digagas sebelumnya.

Ketika dua gagasan ini telah terajut dalam suatu gerakan atau kelompok dengan utuh, maka tak dapat dielakkan lagi ajaran bernuansa sinkretistik akan muncul.[xv]

Sinkretisme sebagai Tren Pluralisme Agama

Ditinjau dari berbagai aspeknya, sinkretisme agama memang sangat identik dengan pluralisme agama. Sebab sinkretisme agama, apa pun bentuknya dan bagaimanapun caranya, pasti selalu mengandaikan adannya relativisme kebenaran dan nilai-nilai keagamaan.

Bahkan sinkretisme agama terkesan lebih berani dalam menabrak fondasi-fondasi teologis dari agama-agama dibanding pluralisme itu sendiri.

Keterkaitan sinkretisme dengan pluralisme agama telah disadari oleh Anis Malik Thoha. Ia dalam bukunya Tren Pluralisme Agama bahkan secara eksplisit mengkategorikan sinkretisme sebagai salah satu tren utama pluralisme agama di samping tren humanisme sekuler, teologi global, dan hikmah abadi.

Pernyataan mengenai sinkratisme sebagai bentuk pluralisme agama tertuang dalam ungkapan Anis Malik Thoha berikut ini,

“Sebagaimana diketahui secara luas bahwa sinkretisme atau eklektisme, baik sebagai suatu bentuk way of life ataupun sebagai tren pemikiran, dalam prosesnya selalu mengandaikan adanya suatu lingkungan kultural dan pemikiran yang toleran terhadap perbedaan dan keragaman serta menghormatinya, dan di saat yang sama juga menyakralkan/menyucikan “relativisme” nilai-nilai moral, imaniyah, aqidatim dan tradisional dengan berbagai bentuknya yang ada di dunia. Maka, tidak mungkin dibayangkan sama sekali, secara teoritis maupun praktis, munculnya sinkretisme kecuali dengan pengandaian ini. Dengan demikian, rasanya cukup jelas relevansi dimasukkannya tren sinkrestistik ini ke dalam kajian tentang tren-tren pluralisme agama.”[xvi]

Irisan antara sinkretisme agama dan pluralisme agama semakin tampak jelas jika kita meninjau fondasi filosofis keduanya yang sama-sama menolak klaim eksklusivitas kebenaran oleh satu agama tertentu.

Pluralisme agama, sebagaimana didefinisikan John Hick, memandang bahwa semua agama besar dunia merupakan respons yang sah dan setara terhadap satu realitas tertinggi (The Real), dan bahwa transformasi spiritual sejati dapat terjadi dalam semua agama secara relatif setara.[xvii]

Pandangan ini sejalan dengan asumsi dasar sinkretisme agama yang meyakini bahwa kebenaran tersebar merata di antara berbagai agama dan bahwa tidak sa…

​ dakwah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *