Mengapa Baitul Maqdis Masih Terjajah?

Mengapa Baitul Maqdis Masih Terjajah?

Sudah lebih dari seabad, Baitul Maqdis lepas dari genggaman umat Islam. Berbagai upaya pembebasan Baitul Maqdis telah dilakukan, tetapi hingga kini belum membuahkan hasil. Apa akar masalahnya? Dan strategi apa yang seharusnya diambil untuk mengembalikan kota suci ini?

Penyakit Umat Terkait Baitul Maqdis

Baitul Maqdis secara khusus, dan negeri-negeri Syam secara umum, jatuh ke tangan penjajah Salibis Inggris dan penjajah Salibis Prancis pada 1917, di akhir Perang Dunia I. Sejak saat itu, penjajah Inggris melakukan segala upaya untuk memenuhi janjinya kepada kaum Zionis Yahudi, sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Balfour 2 November 1917.

Upaya Inggris tersebut berlangsung selama 31 tahun lamanya sampai tahun 1948. Setelah semua persiapan dituntaskan oleh penjajah Inggris, sang penjajah pun angkat kaki dari bumi Baitul Maqdis. Adapun antek sang penjajah, yaitu gerakan Zionis Yahudi, segera mendirikan negara “Israel” di atas bumi Baitul Maqdis.

Sampai tahun 2025 ini, peristiwa kelam itu telah berlangsung selama kurang lebih 108 tahun lamanya. Salah satu pertanyaan yang menggelayut di benak kita adalah: Kenapa telah berlalu waktu yang begitu panjang (108 tahun), namun Baitul Maqdis belum kembali ke pangkuan umat Islam? Kenapa negara penjajah Zionis Yahudi masih bercokol di atas Baitul Maqdis? Apa penyebab kegagalan kaum muslimin untuk mengembalikan Baitul Maqdis ke pangkuan mereka.

Padahal, kaum muslimin telah menempuh jalan jihad militer (gerakan jihad Syaikh Izzuddin Al-Qassam, Revolusi Rakyat 1936—1939, Perang 1948, Perang 1956, Perang 1967, perlawanan PLO dan Hammas)? Padahal, kaum muslimin juga telah menempuh berbagai upaya politik (Perjanjian Camp David, Perjanjian Sharm Sheikh, Perjanjian Oslo) dan diplomasi di forum-forum internasional?

Melalui pengkajian dan riset secara mendalam selama kurang lebih 35 tahun, Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi dalam bukunya, at-Takhtîth al-Istirâtîjî lit-Taḥrîr al-Qâdim lil-Masjid al-Aqshâ al-Mubârak, menyimpulkan ada tiga penyakit pokok yang selama ini menjadi batu sandungan utama bagi kesuksesan upaya-upaya pembebasan Baitul Maqdis.

Ketiga penyakit pokok tersebut adalah sebagai berikut.

Uraian penjelasan atas ketiga penyakit pokok tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama: Penjajahan terhadap akal kaum muslimin (iḥtilâl aql al-muslimîn)

Melalui ghazwul fiqri, penjajah Inggris dan Prancis berhasil menguasai akal pikiran kaum muslimin. Inggris menjajah Mesir sejak 1882. Salah satu langkah utama Inggris di Mesir adalah mengubah dan mengatur kurikulum pendidikan sedemikian rupa agar sesuai dengan worldview Barat.

“Modernisasi” dunia pendidikan itu bertujuan untuk menjaga kepentingan penjajahan Inggris, mengubah pola pikir dan pola perilaku rakyat Mesir agar selaras dengan paham sekulerisme dan nasionalisme yang sempit.

Hasilnya, konsep-konsep pokok dalam ajaran Islam mulai ditinggalkan dan dilupakan oleh kaum muslimin. Contohnya, konsep siapa kawan dan siapa lawan menjadi kabur. Pada kenyataannya, “penaklukan terhadap akal” kaum muslimin oleh penjajah Inggris, Prancis, dan lainnya juga terjadi di Semenanjung Arabia, bumi Syam, India, Turki, dan kawasan dunia Islam lainnya.

Di antara contoh kecil atas hal itu adalah

  • Asy-Syarif Husain bin Ali, pemimpin tertinggi umat Islam di kota suci Mekkah memimpin bangsa Arab untuk berperang di pihak penjajah Inggris melawan Daulah Utsmaniyah (Turki Utsmani) dalam Perang Dunia I.

Asy-Syarif Husain dan para tokoh bangsa Arab lainnya menganggap penjajah Inggris sebagai sekutu, kawan dekat, partner, bahkan pembebas bangsa Arab dari penjajahan rezim Turki Utsmani. Padahal, Inggris adalah penjajah Kristen Anglikan yang saat itu sedang menjajah negeri-negeri muslim: India, Mesir, dan Sudan.

  • Ketika Jendral Lord Allenby memimpin pasukan penjajah Inggris-Australia memasuki Kota al-Quds pada 9 Desember 1917, rakyat Baitul Maqdis menyambut mereka dengan gegap gempita penuh kegembiraan. Mereka dipimpin oleh sang Mufti al-Quds, Syaikh Kamil al-Husaini.
  • Seorang ulama alumni Universitas al-Azhar Mesir, sekaligus pimpinan redaksi majalah mingguan al-Kawâkib, pada saat itu memuji secara berlebihan Lord Allenby. Sang ulama menyerupakan Lord Allenby dengan Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu anhu sang pembebas pertama Baitul Maqdis.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa akal pikiran, pemahaman, dan akidah kaum muslimin telah berhasil dikuasai dan dijajah oleh Inggris, Prancis, dan lainnya, jauh sebelum tanah air mereka diduduki dan dijajah.

Kedua: Bencana dalam aspek ilmu pengetahuan

Dampak dari penjajahan terhadap akal kaum muslimin adalah umat Islam mengalami bencana besar dalam aspek ilmu pengetahuan (an-nakbah al-marifiyyah).

Di antara buktinya adalah

  • Umat Islam begitu percaya, kagum, dan menyambut dengan gegap gempita setiap teori, hipotesis, konklusi, dan karya-karya “ilmiah” para orientalis dan ilmuwan Barat nonmuslim tanpa menyaring serta menyeleksinya dengan ajaran Islam.
  • Umat Islam lebih bangga untuk menimba ilmu tentang “Islam” kepada para orientalis Yahudi, Kristen, Katolik, dan atheis di universitas-universitas Barat, daripada belajar Islam kepada ulama-ulama Islam di negeri-negeri Islam sendiri.
  • Umat Islam mempergunakan teori-teori, hipotesis-hipotesis, dan metodologi Barat nonmuslim seperti teori hermeneutika untuk mempelajari sumber-sumber primer ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits), dengan meninggalkan ilmu-ilmu dan metodologi yang telah disusun para ulama Islam sejak lebih dari seribu tahun lamanya (ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu manthiq, dan lainnya).
  • Umat Islam malas, kurang serius, dan tidak mengerahkan semaksimal kesempatan dan kemampuan mereka untuk mengkaji atau mendalami sumber-sumber primer ajaran Islam (al-Quran dan hadits) serta literatur Islam karya para ulama.

Sebaliknya, mereka begitu bersemangat dalam mengkaji dan mendalami teori-teori, hipotesis-hipotesis, dan konklusi “ilmiah” para orientalis Barat dalam berbagai disiplin keilmuan.

Ketiga: Perbudakan dalam aspek pemikiran (al-ubûdiyyah al-fikriyyah)

Para pemikir, peneliti, dan ilmuwan orientalis Barat menghasilkan lebih banyak karya dalam berbagai disiplin keilmuan, dibandingkan karya yang dihasilkan oleh ulama, pemikir, dan peneliti kaum muslimin. Akibatnya, dunia Islam “dipaksa” untuk mengimpor teori-teori, hipotesis-hipotesis, metodologi-metodologi, dan karya-karya para orientalis Barat.

Dosen-dosen dan mahasiswa-mahasiswa senantiasa diberi “asupan gizi” dari produk pemikiran orientalis nonmuslim. Universitas-universitas dan sekolah-sekolah di dunia Islam menjadi “pasar bebas” untuk produk-produk pemikiran dan penelitian para orientalis Barat nonmuslim.

Terapi Tiga Penyakit Pokok Umat Islam

Umat Islam selama 108 tahun ini mengidap tiga penyakit pokok di atas. Itu sebabnya, sampai saat ini, upaya pembebasan Baitul Maqdis masih mengalami kegagalan. Lantas, apakah terapi yang benar atas tiga penyakit kronis tersebut?

Prof. Dr. Abdul Fattah al-Awaisi dalam at-Takhtîth al-Istirâtîjî lit-Tahrîr al-Qâdim lil-Masjid al-Aqshâ al-Mubârak menyatakan bahwa terapi dari ketiga penyakit kronis tersebut adalah dengan ilmu dan ma’rifah.

Dari tadabur terhadap wahyu al-Quran yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu Surat al-‘Alaq ayat 1—5, dapat diambil beberapa pelajaran penting sebagai berikut.

Pertama:

Membaca merupakan sarana pertama dan utama untuk meraih ilmu dan pengetahuan.

Kedua:

Iqra` adalah fiil al-amr (kata kerja perintah). Maka, membaca merupakan sebuah keharusan, bukan sebuah pilihan bebas atau sekadar hobi.

Ketiga:

Iqra` harus berlandaskan bismi Rabbika. Hal itu menunjukkan bahwa motivasi dan tujuan membaca adalah sebagai sarana untuk meraih keimanan, ketakwaan, dan penghambaan kepada Allah Ta’ala.

Membaca merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah, buk…

​ dakwah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *